SEBUAH PERJALANAN
PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
Tulisan ini adalah kisah saya dalam perjalanan mengikuti pendidikan guru penggerak, khususnya perubahan cara pandang dan keterampilan saya terhadap pengambilan keputusan yang mengandung nilai-nilai kebajikan universal sebagai pemimpin.
Pratap triloka terdiri atas tiga semboyan yaitu Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani, yang artinya adalah "di depan memberi teladan", "di tengah membangun motivasi", dan "di belakang memberikan dukungan". Kaitannya dengan filosofi Ki Hajar Dewantara tersebut, di era sekarang ini seorang guru harus mampu mengambil keputusan sebagai pemimpin pembelajaran dengan mengacu pada pratap triloka yaitu mampu menjadi teladan, memberi motivasi, dan memberi dukungan kepada muridnya dalam upaya mengembangkan potensi yang dimiliki murid sesuai dengan kodrat zamannya.
Saya sebagai seorang guru terus melakukan pembentukan nilai diri sebagai upaya menjadi teladan bagi murid. Nilai-nilai baik yang ada dalam diri saya akan mempengaruhi keputusan yang saya ambil dan nantinya akan mampu melestarikan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat melalui murid-murid.
Coaching dengan model TIRTA yang saya pelajari dapat membantu saya menuntun murid menemukan potensi dalam pengambilan keputusan dengan memanfaatkan komunikasi positif melalui pertanyaan-pertanyaan reflektif yang dapat membuat saya melakukan metakognisi. Selain itu, proses coaching juga membuat saya lebih berpikir secara kritis dan mendalam. Yang akhirnya, saya dapat menemukan potensi di sekitar dan mengembangkannya.
Kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan suatu keputusan khususnya masalah dilema etika. Ketika menghadapi permasalahan benar lawan benar, saya hendaknya mengambil keputusan dengan kesadaran diri, kesadaran sosial, relasi, pengambilan keputusan yang bertanggung jawab dan kemampuan problem solving. Pengambilan keputusan yang tepat, tentunya berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.
Ada tantangan-tantangan di lingkungan saya untuk dapat menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika. Tantangan-tantangan tersebut terkait dengan perubahan paradigma di lingkungan saya. Paradigma guru masih banyak belum berubah terkait penerapan nilai-nilai kebajikan di sekolah. Hal ini merupakan tantangan terbesar.
Pengambilan keputusan terkait pembelajaran yang saya ambil selalu mengacu pada pengajaran yang memerdekakan murid-murid. Saya akan memutuskan pembelajaran yang tepat untuk potensi murid yang berbeda-beda, berdasarkan asesmen gaya belajar serta profil murid.
Pada akhirnya saya mendapatkan kesimpulan bahwa saya harus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memulai mengambil keputusan sebagai pemimpin pembelajaran di sekolah saya agar semakin yakin dengan keputusan-keputusan yang saya buat.
Saya harapkan keputusan-keputusan yang saya ambil akan semakin menguatkan jati diri saya sebagai seorang pemimpin yang meletakkan kepentingan murid sebagai yang utama seiring dengan filosofi pendidikan dari Ki Hajar Dewantara yang telah saya pelajari.
Setiap keputusan akan memiliki implikasinya masing-masing, dan tidak mungkin sebuah keputusan akan memuaskan semua pihak. Sebagai seorang pendidik dan pemimpin, saya akan terus berusaha menempatkan kepentingan murid sebagai prioritas dalam proses yang saya jalani.